Kamis, 15 Mei 2025 Tim Pusat Riset dan Kebijakan Strategis Kawasan Asia Tenggara (Pusris Kestra) LPPM Unsoed baru saja menyelenggarakan webinar dengan tema “Strategi Respons Indonesia dan ASEAN terhadap Kebijakan Tarif Dagang Amerika Serikat” bersama narasumber Ibu Renny Miryanti, S.IP, M.Si (Dosen Jurusan HI Unsoed yang sekarang sedang menjadi Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia) dan Ibu Ella Syafputri Prihatini, Ph.D (Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta) dengan dihadiri sekitar 90 peserta dari Universitas Jenderal Soedirman serta berbagai universitas lainnya yang berminat pada kajian Asia Tenggara.

 

Pada kesempatan ini, terdapat beberapa poin penting dari materi yang telah disampaikan oleh para narasumber untuk dapat membuka pemahaman lebih dalam mengenai kondisi perdagangan global yang sedang diterpa oleh kebijakan tarif AS. Pemerintahan Trump saat ini menerapkan kebijakan tarif proteksionis dengan slogan “America First” untuk melindungi industri domestik dan mengurangi defisit perdagangan. Tak hanya itu, Trump juga sempat berjanji untuk melindungi pekerjaan manufaktur dan mengembalikan industri yang hilang akibat globalisasi. Di sisi lain, kebijakan tarif tersebut telah meningkatkan ketegangan geopolitik, memperburuk hubungan internasional, merusak norma perdagangan global, serta mengganggu rantai pasokan global. Tak hanya itu, timbul perang dagang antara AS dan China akibat dari kebijakan tarif, keduanya saling balas tarif sehingga mengakibatkan penurunan hubungan bilateral, dan mendorong China mempercepat kemandirian teknologi lewat program “Made in China 2025”. 

Pada akhirnya, negara-negara mulai mengevaluasi ulang aliansi dan perjanjian perdagangan mereka, mempercepat pembentukan perjanjian regional, meningkatkan ketergantungan pada kebijakan industri nasional, dan mencari hubungan perdagangan alternatif dengan negara-negara Asia. Adapun dampaknya terhadap negara berkembang dan Indonesia, negara seperti Brasil dan India mendapat manfaat dari peningkatan ekspor ke AS. Sedangkan, Indonesia mengalami dampak positif berupa peningkatan ekspor dan investasi asing, serta diversifikasi pasar ekspor. Namun, juga menghadapi tantangan seperti keterbatasan akses ke pasar China, gangguan rantai pasokan, dan tekanan di sektor manufaktur.

Kebijakan tarif ini juga mendapat dukungan dari pemilih yang merasa dirugikan globalisasi, namun juga menimbulkan ketegangan di Kongres dan mempengaruhi hasil pemilu di daerah industri. Akan tetapi, sektor teknologi dan otomotif di AS terkena dampak negatif berupa kenaikan biaya produksi dan kerugian akibat tarif balasan. Banyak negara yang mengajukan keluhan ke WTO terkait kebijakan tarif AS yang dianggap melanggar GATT, tetapi efektivitas WTO dalam menangani kebijakan agresif ini dipertanyakan. Ini membuat kepercayaan pada WTO menurun dan negara – negara lebih fokus pada sektor domestik. Kebijakan tarif ini pun sangat dipengaruhi oleh dinamika politik domestik dan ketegangan geopolitik, terutama dengan China, serta mendorong pergeseran aliansi perdagangan global.

Lantas, bagaimana respon dari Indonesia sendiri?

Presiden Prabowo menggelar sarasehan ekonomi, meminta para menterinya mengulas perang dagang Amerika-China.

Prabowo juga menawarkan terima warga Palestina sebagai bentuk dukungan rencana Trump mengosongkan Palestina.

Indonesia mengirim Menko Ekonomi, Airlangga dan timnya ke Amerika, tetapi tarif naik dari 32% menjadi 47%.

Indonesia juga berjanji membeli lebih banyak gandum dan produk agrikultur dari Amerika.

Selanjutnya, strategi untuk Indonesia adalah dengan diversifikasi ekspor ke pasar non-tradisional, memanfaatkan perjanjian regional seperti RCEP, meningkatkan daya saing industri domestik, dan perkuat diplomasi ekonomi dalam forum multilateral. Sedangkan, untuk ASEAN perlu mengembangkan respons kolektif untuk menghadapi kebijakan tarif AS, memperkuat integrasi ekonomi internal, memperluas perjanjian perdagangan regional, dan bersatu dalam melakukan negosiasi dengan AS. Adapun strategi yang telah dilakukan oleh Presiden Xi Jinping adalah mengunjungi beberapa negara di Asia untuk mempererat hubungan kerja sama, yaitu dengan Vietnam, Malaysia, dan Kamboja.

Fenomena kebijakan tarif AS tersebut telah membuka insight untuk berbagai kalangan karena situasi ini tidak hanya berdampak bagi sebagian orang saja, tetapi juga seluruh masyarakat dari negara yang terkena tarif. Bahwasannya, kebijakan proteksionis AS tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral negara, namun juga mendorong perubahan besar dalam sisi perdagangan global. Indonesia dan negara Asia lainnya harus adaptif dan inovatif dalam merespons dinamika global yang terjadi saat ini agar tidak bergantung pada ekspor ke AS. Negara – negara berkembang, termasuk Indonesia, wajib aktif memperjuangkan kepentingannya di forum internasional dan menyadari pentingnya kemandirian untuk mengurangi risiko dari gejolak eksternal. Dalam hal ini, ASEAN pun perlu memperkuat kerja sama agar lebih efektif dalam menghadapi setiap tantangan global. Di tengah krisis perang dagang antara AS dan China juga dapat membuka peluang bagi Indonesia dan negara Asia Tenggara lain untuk merebut pangsa pasar ekspor yang sebelumnya didominasi oleh China, asalkan mampu meningkatkan daya saing dan kualitas produknya. Jalur diplomasi dan negosiasi bisa menjadi pilihan bagi banyak negara Asia untuk meminimalkan dampak negatif dan menjaga stabilitas ekonomi, seperti yang telah dilakukan oleh Presiden Xi Jinping dalam kunjungannya.

Penulis: Asisten Pusat Riset dan Kebijakan Strategis Asia Tenggara (Luthfi Nabilah Ailen).

By Indra K